Selasa, 07 Mei 2013

“Anda tidak akan pernah tahu sejauh mana dampak yang dihasilkan dari pekerjaan yang Anda lakukan dengan sebaik-baiknya,”

“Anda tidak akan pernah tahu sejauh mana dampak yang dihasilkan dari pekerjaan yang Anda lakukan dengan sebaik-baiknya,” “Anda tidak akan pernah tahu sejauh mana dampak yang dihasilkan dari pekerjaan yang Anda lakukan dengan sebaik-baiknya,” Saya, berani mengatakan demikian. Anda setuju? Mungkin tidak. Karena boleh jadi Anda sudah pandai menghitung apa sih yang akan Anda dapatkan sebagai imbalan atau bonus atau insenstif hasil kerja Anda. Semuanya sudah ada angkanya kan? Jika bisa mencapai 100% akan mendapatkan segini. Jika lebih dari 100% ada hitung-hitungan lainnya. Dan jika kurang dari itu, ya dapetnya cuman hasil yang segitu-gitunya. Semua sudah ada skemanya. Kita percaya, jika semuanya sudah ada hitung-hitungannya. Makanya, banyak orang yang kerjanya ‘hitung-hitungan’. Tapi saya meyakini, menyaksikan, dan mengalami sendiri bahwa ada begitu banyak dampak atau hasil yang tidak bisa dijangkau oleh logika matematis manusia. Sehingga kita, perlu sesekali membebaskan diri dari sifat ‘hitung-hitungan’ itu. Apa buktinya? Permintaan Ayah dan Ibu saya jelas sekali; saya harus pulang kampung. Membawa anak lelaki saya yang disunat di rumah kami tapi sama sekali tidak dirayakan. Ayah saya dikampung menyediakan acara kuda renggong dan sisingaan. Dan untuk itu, saya tidak bisa menolaknya. Bersamaan dengan itu, ada 2 keponakan saya lainnya yang juga disunat. Jadilah kami mengadakan pesta kecil-kecilan di kampung halaman. Di acara itu, keluarga besar kami berkumpul. Dan disitulah, saya bertemu dengan adik sepupu saya yang dulu rasanya masih kecil. Tapi sekarang sudah dewasa, dan sudah bisa menghasilkan nafkahnya sendiri dengan sangat layak. “Di Kalimantan A…” jawabnya, ketika saya menanyakan kerja dimana. Harap maklum, disini saya dipanggil dengan sebutan ‘Aa’. Aa Dadang, gitu loh. Karena saya termasuk cucu tertua dalam keluarga. Kami pun mengobrol tentang pekerjaannya di sebuah perusahaan pertambangan. Lalu pembicaraan itu saya tutup dengan kalimat ini:”Jaga karirmu sebaik-baiknya. Kelak, keahlianmu itu akan sangat mahal sekali. Dan kamu, bisa menjadi kebanggaan keluarga…..” Pembicaraan biasa saja ya? Hmmh baiklah. Dimalam harinya, saya bertemu dengan ayahnya. Paman saya. Saya bilang pada beliau bahwa saya ikut gembira dengan pekerjaan putera lelakinya. Tanpa saya minta, beliau pun bercerita bagaimana kok seorang anak yang tinggal di pedalaman Bandung coret bisa sampai ke Kalimantan nun jauh disana. Ketika mengawali pembicaraan itu, wajah beliau menyiratkan kebanggaan. Tentunya biasa saja kalau orang tua bangga pada anaknya, kan? Tapi. Menjadi luar biasa bagi saya ketika beliau menceritakan detailnya. Paman saya itu punya 9 anak. Tinggal di kampung dengan anak sebanyak itu, tentu bukanlah cerita kehidupan yang menjanjikan. Saya tahu betul kehidupan keluarga kami. Saya sendiri adalah anak pertama dari 6 bersaudara. Ayah saya yang guru sekolah dasar itu adalah 11 bersaudara dan beliau merupakan anak lelaki tertua yang menjadi tumpuan harapan kakek nenek saya. Ayah, mesti merangkap menjadi petani. Dengan begitu, beliau bisa menjadi ‘sandaran’ seluruh keluarga. Jadi, saya bisa membayangkan. Seperti apa kehidupan paman saya dengan dengan 9 anaknya itu. “Paman juga nggak nyangka kalau dia bisa mendapatkan pekerjaan di pertambangan itu Dang…” begitu paman saya bercerita.”Waktu itu paman melayat orang yang meninggal.” Lanjutnya. “Eh, rupanya disana ada seseorang yang paman kenal puluhan tahun lalu.” Katanya. “Puluhan tahun lalu?” tanya saya. “Iya,” katanya. Dulu paman saya pernah ‘menghilang’ dari kampung selama sekitar satu atau dua tahun. Keluarga tidak ada yang tahu kemana. Malam itu beliau bercerita bahwa ‘menghilangnya’ dirinya itu karena dia menjaga agar jangan sampai keluarga tahu bahwa dirinya bekerja sebagai ‘pembantu’ di rumah dinas sebuah perusahaan tekstil terbesar yang dihuni oleh beberapa karyawan. Di zaman itu, tekstil merupakan primadona ekspor Indonesia. Mess, mungkin bisa disebut demikian. Tugasnya adalah mencuci baju, memasak, membersihkan mess, menyediakan semua kebutuhan karyawan. Seperti pembantu rumah tangga gitulah. Cuman dalam versi ‘cowok’-nya. “Pak… masih ingat sama saya?” Begitu sapa paman saya ketika seseorang yang dikenalnya itu hendak masuk kedalam mobilnya setelah takziah. Dan begitu orang yang disapa melihat kearahnya, sungguh diluar dugaan. Beliau bukan hanya masih ingat, melainkan juga memeluknya erat-erat. Lalu memperkenalkannya kepada istrinya. “Mamah…” katanya. “Inilah orang yang paling berjasa selama hidup Papa…” kata beliau sambil menyebutkan nama paman saya itu. “Dialah yang merawat Papa dulu sewaktu Papa masih bujangan. Pokoknya Papa berhutang budi kepadanya Mah….” “Kamu itu kemana saja. Saya mencari-cari kemana-mana kok tidak ada jejaknya sama sekali,” kata beliau. Kali ini sepertinya sedang marah. “Saya mau memberi kamu pekerjaan penting, tapi kamu kok malah menghilang begitu.” Rupanya, ketika karir beliau menanjak naik, eh paman saya malah meminta berhenti bekerja. Dan saya kenal betul karakter paman saya. Jika dia bilang ingin berhenti ya berhenti saja. Sedangkan karir mantan bossnya itu terus melambung hingga beliau memegang posisi puncak di perusahaan itu. “Berapa anakmu sekarang?” tanya beliau. “Sembilan Pak…” kata paman saya. “Haaaaaah?” Kayaknya orang kota selalu syok mendengar orang yang punya anak sempai sembilan. Di kampung kami, yang seperti itu sudah biasa. Bahkan ada yang lebih banyak dari itu. “Ya sudah, kalau begitu.” Kata beliau. “Kamu punya anak yang sudah besar apa tidak…?” “Ada Pak.” jawab paman saya pendek. “Sudah kerja?” “Belum Pak…..” “Hiiiih gimana sih kamu itu?” kata beliau. “Saaaaya ini bisa memberikan pekerjaan apa saja kepada anak kamu. Kenapa kamu tidak menghubungi saya heh?” “Wah… saya malu Pak…” jawab paman saya. “Malu. Malu. Kamu itu sudah saya anggap seperti keluarga, tahu tidak?” Beliau kembali menggunakan nada yang tinggi. “Nih nomor telepon saya. Kamu punya hape apa tidak?” “Punya Pak…” “Berapa nomornya, sini.” Lalu kedua insan yang berbeda status itu saling bertukar nomor telepon. “Suruh anak kamu itu menelepon saya secepatnya ya….” “Iya Pak…” Lalu beliau pun meninggalkan tempat itu dengan mobilnya yang membuat semua mata di kampung kami terpana seperti orang-orang di Jakarta terpukau melihat baju terbangnya Iron Man. Pertanyaan saya; menurut pendapat Anda, apa yang telah dilakukan oleh paman saya ketika dia bekerja sebagai ‘pembantu’ di mess itu? Kok sampai-sampai beliau sedemikian merasa berhutang budinya kepada pegawai kecil itu. Apa yang dia lakukan selama bekerja disana? Dasar orang kampung. Sudah dikasih kesempatan sama boss besar pun masih saja takut mengambilnya. Paman saya itu bilang kalau dia malu untuk menelepon mantan bossnya. Jadi, setiap hari dia hanya bisa memandangi nomor telepon itu tanpa berani menghubunginya. Sesekali dia memandang wajah anak lelakinya yang tengah tertidur lelap. Kasihaaaaan rasanya kok masih terjebak di tempat terpencil begitu. Padalah di STM dia dapat nilai yang bagus. Pinter anaknya. Tapi yaaaah… namanya di kampung. Anak pinter juga hanya bisa menjadi buruh tani atau tukang ojek. Ketika memandang wajah anaknya itu, paman saya punya kekuatan untuk menelepon. Tetapi ketika hendak memencet tanda ‘call’ hatinya kembali ciut. Sehingga dia tidak pernah menelepon. Sama sekali tidak. Sampai akhirnya, hand phone jadulnya itu berdering. Kaget dia. Karena yang menelepon itu mantan bossnya. “Gemetaran paman waktu mengangkat telepon itu, Dang…” katanya. “Apalagi waktu si boss marah-marah.” “Kenapa dia marah?” Begitu saya bilang. ‘Enak banget orang marahin paman gue…’ begitu hati saya memprotes. Maklum, keren-keren gini juga saya ini mantan anak badung. Nggak terima dong kalau anggota keluarga saya ditindas orang … haha… “Dia tersinggung karena paman mengabaikannya,” katanya. Sekarang saya mengerti. “Besok, anakmu akan ditelepon oleh anak buah saya. Suruh dia siap-siap.” Begitu suara dari seberang telepon. Lalu ditutup. Hanya tinggal paman saya yang termangu. Tanpa menyadari lelehan air mata membasahi pipinya. Padahal, saya tahu. Dia bukan orang yang cengeng. Dimasa mudanya, paman saya itu semacam anak nongkrong. Dengan rambut kribo dan gaya berpakaian cutbray. Anda bisa bayangkan anak muda di pedalaman terkena demam rock and roll bawaan God Bless ditahun 80an? Itulah gambaran paman-paman saya kakak beradik beserta ‘segerombolannya’. Dia itu anak metal. Tapi di hari ketika menerima telepon dari mantan bossnya. Sambil menatap wajah ke-9 anaknya yang sedang tidur nyenyak disatu ruangan saling bertumpuk-tumpuk….sesenggukannya seperti tangis bidadari yang sedang patah hati. Besoknya. Telepon berdering dijam yang sudah dijanjikan. Kepala personalia sebuah perusahaan. Putera mantan boss itu yang sekarang mengelolanya. Pak kepala personalia itu meminta sepupu saya datang ke kantornya di Jakarta untuk wawancara. Tentu saja disambut gembira dan sukacita seluruh keluarga. Anak lelaki dewasanya akan mendapatkan pekerjaan dikota. Keluarga mana yang tidak bahagia? Tapi, bahagia itu hanya berlangsung sesaat saja. Tiba-tiba semua wajah berubah. Membayangkan harus pakai baju yang mana? Baju yang ada, tidak layak. Baju yang layak memang ada juga sih. Tapi bukan dirumah mereka. Sepatu juga yaah… begitulah. Terus, ke Jakarta mau naik apa? Kan nggak mungkin berjalan kaki atau naik sepeda sejauh lebih dari 250 kilometer. Semua orang terdiam. Mengiringi harapan yang terhempas dijurang kemiskinan yang dalam. Dan sepupu saya itu…. Tidak berangkat memenuhi panggilan kerjanya. Panggilan, yang mungkin hanya satu-satunya. Paman saya. Hanya bisa menerawang. Tentang masa depan yang berbalut lingkaran kehidupan begitu-begitu saja. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya lagi. Dia. Sedang membayangkan masa depan anak-anaknya yang sembilan orang itu…… Keesokan harinya, handphone jadul itu menjerit-jerit lagi. Melantunkan ringtone yang sudah tidak dikenali oleh anak-anak dan remaja yang tinggal di kota. “Kamu itu bagaiman sih,” begitulah kata pertama yang dilontarkan oleh pak kepala personalia. Beliau merasa dipermainkan. Bisa dimengerti jika dalam sesi telepon itu, paman saya lebih banyak menerima lontaran kekesalan. Orang kampung memang tidak mengerti jika jabatan kepala personalia itu bergengsi sekali. Waktunya sangat berharga sehingga tidak ada perlunya membuang waktu untuk menelepon calon karyawan dari kampung yang belum jelas juntrungannya. Namun beliau harus menjalankan tugas dari bossnya. Maka beliau memberi kesempatan satu kali lagi untuk bertemu. Hanya sekali lagi. Namun, itu membuat matahari dalam keluarga itu kembali bersinar. Sepupu saya sudah bulat tekadnya untuk berangkat ke Jakarta. Tapi ayahnya – yang paman saya itu – tidak juga berhasil mendapatkan ongkos perjalanannya. Hati saya teriris ketika dalam cerita itu paman saya berkata;”Paman nggak punya alamat rumah Dadang di Jakarta. Paman juga nggak kepikiran untuk tanya ke Aa nomor telepon Dadang….” Serasa teriris hati saya. Padahal, ketika itu mungkin saya bisa melakukan hal kecil. Meski tidak bisa banyak, tapi untuk membuat sepupu saya sampai ke Jakarta, masa saya tidak bisa. Kenyataannya, paman saya tidak berhasil mendapatkan bekalnya. Sehingga….kesempatan terakhir itu….kembali melayang. Terbang ke awang-awang. Menghilang. Seperti mimpi-mimpi keluarga itu yang serupa sama fatamorgana…. Besoknya. Hape jadul itu kembali melengkingkan ringtone garingnya. Haddduuh… pak kepala personalia lagi. Paman saya sudah pasrah saja untuk kembali terkena marah. Dasar orang kampung. Padahal kan dia itu tidak usah mengangkat teleponnya. Biarkan saja. Daripada panas telinga. Mendingan cuekin saja. Atau bilang saja;”Haloh. Haloh. Haloh. Maaf sinyalnya tidak bagus. Suara bapak terputus-putus.” Terus matikan deh teleponnya. Aman. Tapi bukan itu yang dilakukan paman saya. Dia malah mengangkatnya sambil tergopoh-gopoh memohon maaf karena telah mengecewakan beliau… “Aduh Pak….mohon maaf Pak,” ada kalimat yang seperti itu terdengar. Menurut Anda, suara siapa itu? “Saya minta maaf Pak. Saya tidak bermasuk tidak sopan pada Bapak. Tapi tolonglah Pak, suruh anak Bapak datang ke Jakarta. Kalau anak Bapak tidak datang nanti saya bisa kena marah boss saya…..” Paman saya, sama sekali tidak menduga jika beliau itu berbicara demikian di telepon kali ini. Rupanya, mantan boss paman saya menegur kepala personalia karena ‘tidak berhasil’ mendatangkan anak mantan pembantunya dari kampung untuk bisa sampai ke Jakarta itu. “Tolonglah Pak. Terserah anak Bapak mau datangnya kapan. Saya tunggu…,” katanya. “Asal anak Bapak mau datang.” Lanjut beliau. “Kalau tidak, saya bisa kena marah boss saya lagi Pak, tolong…” Tiba-tiba saja langit mendung kembali menyingsingkan sinar cerahnya bagi keluarga itu. Ada harapan lagi. Dan kali ini, tidak boleh lagi disia-siakan. Karena selain penyia-nyiaan itu akan menyebabkan harapan keluarga bisa musnah untuk selamanya; juga akan membuat karir seseorang diseberang sana terancam. Maka anak lelaki itu pun berangkat ke Jakarta dengan beberapa pesan dari ayahnya. Antara lain. Kalau lapar, puasa saja. Dan kalau ngantuk, tidur di musola saja. Bismillah. Getaran sukma. Doa. Dan air mata seluruh keluarga mengiringi kepergiannya. Kakinya pun mulai melangkah…. Esok harinya. Si telepon jadul kembali memperdengarkan lagu ringtone sumbangnya. Sekali lagi. Tapi kali ini, dari anak lelaki kebanggaan keluarga itu. Sedangkan orang kampung tidak sabar untuk mendengar apa saja yang terjadi dalam wawancara itu. “Ini saya sedang ada di bank…” kata anak itu. “Nggak tahu. Langsung disuruh membuat rekening bank untuk transfer gajian….” Bahagia. Bangga. Kagum. Haru. Semuanya bercampuraduk ketika malam itu saya mendengar penuturan paman saya. Tapi saya tidak akan menceritakan kelanjutan kisah yang membuat hati saya seperti tersayat-sayat itu. Biarlah itu menjadi harta karun jiwa saya bersama keluarga paman saya saja. Lagi pula. Belum tentu Anda berkenan untuk mendengarnya. Saya hanya ingin bertanya kepada Anda. Menurut pendapat Anda, apa yang telah dilakukan oleh paman saya ketika dia bekerja sebagai ‘pembantu’ di mess itu? Kok sampai-sampai ada seseorang yang sedemikian merasa berhutang budinya kepada pegawai kecil itu? Apa yang dia lakukan selama bekerja disana? Saya tidak tahu persis. Tetapi. Dari pernyataan mantan bossnya. Saya tahu bahwa. Selama bekerja. Paman saya itu benar-benar melakukannya dengan sepenuh hati. Seluruh kesungguhan. Dan segenap kemampuan yang dimilikinya. Untuk membuat pekerjaannya benar-benar bermakna. Melalui pekerjaan yang tak mentereng itu, paman saya menunjukkan symbol kesempurnaan Tuhan dalam menciptakan dirinya. Bahkan dalam wujudnya yang sedemikian sederhana itu, Tuhan menyelipkan keagungan pribadi yang seutuhnya. Sepertinya malam itu paman saya bertanya;”Sudahkah kamu menunjukkan kesempurnaan penciptaan dirimu melalui pekerjaanmu, Dadang?” Pertanyaan itu membuat mata saya berkaca-kaca……. Seandainya lampu cukup terang untuk melihat wajah kami. Mungkin semua tamu undangan tahu bahwa dimalam pesta khitanan itu ada dua lelaki melankolis. Yang terhanyut perasaannya bukan dalam kemeriahan suasana hajatan. Melainkan meleleh jiwanya dalam kesadaran yang sedemikian dalam. Sahabatku…. Kita tidak perlu meyakini hukum karma untuk memahami bahwa buah dari pekerjaan kita ini mungkin bukan kita yang bisa memetik dan menikmatinya. Melainkan anak-anak kita kelak, jika mereka sudah membutuhkannya. Insya Allah. Nggak kuat. Saya beranjak dari pesta itu. Lalu masuk kedalam kamar, sambil berdoa; “Tuhanku, aku menitipkan masa depan anak-anakku kepada kebijaksanaanMu….” Salam hormat, Mari Berbagi Semangat! DEKA – Dadang Kadarusman – 7 Mei 2013 Author, Trainer, and Professional Public Speaker DK: 0812 19899 737 or Ms. Vivi at 0812 1040 3327 PIN BB DeKa : 2A495F1D Catatan Kaki: Kita sering hanya melihat hasil sesaat melalui imbalan material dari setiap pekerjaan yang kita lakukan. Padahal ternyata, Tuhan menyediakan imbalan lain yang jauh lebih berharga; dari sekedar lembaran-lembaran rupiah yang kita terima….. Ingin mendapatkan kiriman artikel “S (=Spiritualism)” secara rutin langsung dari Dadang Kadarusman? Kunjungi dan bergabung di http://finance.groups.yahoo.com/group/NatIn/ Silakan teruskan kepada orang lain jika Anda nilai artikel ini bermanfaat. Dan tetaplah mengingat bahwa; Anda tidak perlu mengklaim sesuatu yang bukan karya tulis Anda sendiri. Meskipun Anda sudah berbuat baik, namun Tuhan; belum tentu suka tindakan itu (Natin & The Cubicle). Salam hormat, Mari Berbagi Semangat! DEKA - Dadang Kadarusman www.dadangkadarusman.com Dare to invite Dadang to speak for your company? Call him @ 0812 19899 737 or Ms. Vivi @ 0812 1040 3327